TarunaKota.com, Jawa Timur, 18 Maret 2025 – Sebuah kabar mengejutkan kembali muncul dari Kabupaten Situbondo. Syaif, mantan wali santri asal Desa Bugeman, Kecamatan Kendit, menyuarakan kekhawatirannya terkait dugaan kekerasan dan praktik ujian fiktif yang terjadi di salah satu pondok pesantren asuhan ZAA di Kecamatan Panji. Menurutnya, peristiwa ini menimpa putrinya yang masih berusia 13 tahun, yang menjadi korban kekerasan sistemik dan perlakuan tidak manusiawi selama menempuh pendidikan di pesantren tersebut.
Kekerasan Berulang di Lingkungan Pesantren
Kejadian ini bermula pada tahun 2024, ketika putri Syaif, berinisial ZL, masih duduk di bangku kelas VI SD. Syaif mengungkapkan bahwa anaknya mengalami kekerasan hampir setiap hari.
“Anak saya kerap dipukul, ditempeleng, bahkan dipukul dengan kayu hingga meninggalkan bekas memar yang jelas terlihat,” ungkapnya kepada media. Ia menambahkan bahwa kekerasan ini tidak hanya berdampak pada fisik, tetapi juga meninggalkan trauma mendalam bagi anaknya, hingga menghambat kelangsungan pendidikannya.
Dugaan Ujian Fiktif di Bulan Juli 2024
Selain kekerasan fisik, Syaif juga menuding adanya praktik ujian fiktif di pesantren tersebut pada Juli 2024. Menurutnya, informasi ini ia dapat dari wali santri lain yang mengatakan bahwa putrinya, yang seharusnya mengikuti ujian sebagai syarat kelulusan, ternyata tidak ikut serta dalam ujian yang sesungguhnya. Ironisnya, ujian justru diikuti oleh santri lain, ZF, yang masih satu angkatan tetapi dari tingkat kelas lebih rendah.
“Saya mendengar bahwa ujian dilakukan tanpa sepengetahuan saya, dan anak saya tidak mendapatkan kesempatan yang semestinya. Padahal, untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya, sertifikat ujian sangat penting,” tutur Syaif kecewa.
Ia menambahkan bahwa ujian tersebut diduga melibatkan ‘joki’, sehingga hasilnya tidak mencerminkan kemampuan sebenarnya. Bahkan, seorang tokoh agama di Situbondo telah mengirimkan surat ke Kementerian Agama (Kemenag) sebagai bentuk keprihatinan terhadap praktik ini.
Belum Ada Tindak Lanjut dari Pihak Berwenang
Hingga saat ini, belum ada tindakan konkret dari Kemenag maupun pihak pesantren terkait laporan ini. Menurut Syaif, ia telah melaporkan kasus ini ke berbagai pihak, tetapi belum mendapatkan kejelasan.
“Anak saya mengalami trauma berat dan tidak bisa melanjutkan sekolahnya. Saya berharap ada tindakan nyata dari pihak berwenang,” tegasnya.
Syaif menyoroti bahwa metode pendidikan seharusnya tidak lagi menggunakan kekerasan. “Santri adalah generasi penerus bangsa yang harus dilindungi. Tidak bisa dikatakan mendidik jika menggunakan kekerasan. Kemenag dan pihak terkait harus mengambil tindakan tegas terhadap pelanggaran ini,” tambahnya.
Desakan Transparansi dan Reformasi Pendidikan
Para pengamat pendidikan dan perlindungan anak mendesak agar kasus ini segera ditindaklanjuti. Mereka menegaskan bahwa tindakan kekerasan terhadap anak di lingkungan pesantren tidak hanya melanggar norma pendidikan, tetapi juga melanggar hak anak sebagaimana diatur dalam undang-undang perlindungan anak.
“Kita harus memastikan bahwa setiap anak mendapatkan lingkungan belajar yang aman dan mendidik,” ujar salah satu pakar pendidikan setempat.
Jika terbukti benar, kasus ini berimplikasi hukum serius. Kekerasan terhadap anak dan kecurangan dalam sistem pendidikan dapat dikenai sanksi hukum, baik dalam aspek perlindungan anak maupun penyalahgunaan wewenang dalam institusi pendidikan.
Selain itu, praktik ujian fiktif yang melibatkan ‘joki’ menimbulkan pertanyaan besar tentang integritas sistem pendidikan di pesantren. Pendidikan seharusnya menekankan kejujuran dan keadilan, bukan justru memberikan ruang bagi kecurangan administratif yang merugikan anak-anak.
Harapan Akan Perubahan
Syaif berharap kasus ini menjadi titik balik bagi reformasi sistem pendidikan di pesantren. “Semoga dengan kasus ini, pihak terkait segera bertindak agar tidak ada lagi anak yang mengalami trauma seperti anak saya. Pendidikan adalah hak setiap anak, dan kita harus bersama-sama menciptakan lingkungan yang kondusif bagi mereka,” pungkasnya.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tetapi juga pembentukan karakter dan perlindungan hak anak. Jika tidak ada tindakan nyata dari pihak berwenang, kepercayaan masyarakat terhadap pesantren dan lembaga pendidikan serupa akan terus diuji. (Amelia)
Tinggalkan Balasan