TarunaKota.com, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang kedua uji materiil Pasal 162 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 mengenai Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada). Sidang yang digelar pada Selasa (18/3/2025) ini dihadiri oleh Paber SC Simamora, seorang Aparatur Sipil Negara (ASN), yang mengikuti jalannya persidangan secara daring. Dalam kesempatan tersebut, Pemohon menyampaikan perbaikan permohonan atas Perkara Nomor 2/PUU-XXIII/2025.

Pemohon melakukan perbaikan pada lima aspek utama, yaitu:

  1. Pasal dalam norma UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian.
  2. Kewenangan Mahkamah.
  3. Legal standing.
  4. Alasan permohonan.
  5. Petitum.

Semula, terdapat enam pasal dalam UUD 1945 yang menjadi dasar pengujian, namun setelah perbaikan, hanya empat norma yang digunakan, yaitu Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat (2), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (3). Dalam aspek legal standing, Pemohon menegaskan bahwa dirinya adalah Warga Negara Indonesia (WNI) sekaligus Pegawai ASN sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a PMK 2/2021. Pemohon juga menekankan adanya kerugian konstitusional akibat UU Pilkada yang membatasi pengaturan hingga pengesahan pasangan calon terpilih, sedangkan Pasal 162 ayat (3) UU Pilkada mengatur wewenang kepala daerah setelah pelantikan.

Pemohon menyoroti bahwa keharusan memperoleh persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri berdampak pada kedudukan Gubernur, Bupati, dan Walikota sebagai Kepala Pemerintahan di daerahnya masing-masing. Hal ini dinilai mengurangi kewenangan kepala daerah dan berpotensi merugikan ASN karena tidak adanya jaminan atas hak yang termuat dalam Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Pemohon juga menegaskan bahwa aturan ini menyebabkan ketidakpastian hukum serta menghambat hak untuk memajukan diri dan berpartisipasi dalam pemerintahan.

Perubahan Petitum Pemohon mengajukan perubahan petitum agar Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 162 ayat (3) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai bahwa “Gubernur, Bupati, atau Walikota yang akan melakukan penggantian pejabat di lingkungan Pemerintah Daerah dalam jangka waktu enam bulan sejak pelantikan harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri.”

Pada sidang pendahuluan yang digelar sebelumnya, Rabu (5/3/2025), Pemohon mempertanyakan mengapa kepala daerah terpilih tidak diperbolehkan melakukan penggantian pejabat dalam enam bulan pertama pascapelantikan tanpa persetujuan Menteri Dalam Negeri. Pemohon berpendapat bahwa ketentuan ini bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 28C ayat (2), serta Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945.

Ketidaksesuaian dengan Undang-Undang Lain Pemohon juga menyoroti bahwa kepala daerah memiliki kedudukan setara dengan menteri dan pimpinan lembaga lain sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN. Oleh karena itu, kewajiban memperoleh persetujuan dari Menteri Dala Negeri sebelum mengganti pejabat di lingkungan pemerintah daerah dinilai bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Selain itu, berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, seorang kepala daerah merupakan Pejabat Pembina Kepegawaian yang memiliki hak untuk melaksanakan tugas pembinaan terhadap ASN tanpa harus mendapatkan persetujuan dari Menteri Dalam Negeri.

Permohonan Pemohon Berdasarkan argumentasi tersebut, Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk:

  1. Mengabulkan permohonan Pemohon.
  2. Menyatakan Pasal 162 ayat (3) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
  3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Dengan adanya uji materi ini, diharapkan Mahkamah Konstitusi dapat memberikan putusan yang mencerminkan prinsip kepastian hukum dan keadilan bagi ASN serta kepala daerah dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. (Amelia)