TarunaKota.com, Jakarta – Konsultan hukum Syukur Destieli Gulo mengajukan uji materi terhadap Pasal 30 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perdana permohonan dengan Nomor Perkara 3/PUU-XXIII/2025 digelar pada Rabu (5/3/2025).

Dalam permohonannya, Syukur Gulo menyoroti proses seleksi, pengusulan, dan pemilihan pimpinan KPK periode 2024-2029 yang dianggap bertentangan dengan prinsip negara hukum. Menurutnya, seleksi yang dilakukan oleh Presiden periode sebelumnya (2019-2024) dapat mengganggu independensi pimpinan KPK baru.

Potensi Benturan Kepentingan

Syukur, yang hadir tanpa kuasa hukum, menilai bahwa pemilihan pimpinan KPK oleh Presiden periode sebelumnya membuka potensi benturan kepentingan, terutama jika pimpinan KPK yang sedang menjabat ingin mencalonkan diri kembali.

“Jika pimpinan KPK ingin mencalonkan diri untuk periode berikutnya, mereka akan diseleksi oleh panitia seleksi yang dibentuk oleh Presiden 2024-2029 dan diajukan oleh Presiden yang sama. Hal ini dapat mempengaruhi independensi KPK,” ungkapnya.

Menurutnya, idealnya proses seleksi dan pengusulan calon pimpinan KPK harus dilakukan oleh Presiden dan DPR yang memiliki masa jabatan yang sama. Namun, dalam kenyataannya, seleksi dilakukan oleh Presiden periode 2019-2024, sementara pemilihannya dilakukan oleh Komisi III DPR periode 2024-2029 pada 21 November 2024.

Bertentangan dengan Putusan MK

Syukur juga menegaskan bahwa perbedaan masa jabatan antara Presiden yang melakukan seleksi dan DPR yang memilih pimpinan KPK bertentangan dengan Putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022. Putusan tersebut menyatakan bahwa seleksi pimpinan KPK harus dilakukan oleh Presiden dan DPR yang menjabat dalam periode yang sama untuk menjaga independensi lembaga antirasuah tersebut.

“Dengan kondisi saat ini, pimpinan KPK periode 2024-2029 menjadi inkonstitusional dan tidak sah,” tandasnya.

Selain itu, Syukur mengklaim bahwa ketidaksesuaian dalam proses seleksi ini melanggar hak konstitusionalnya sebagai warga negara, yaitu hak untuk mendapatkan penyelenggaraan negara yang berdasarkan hukum dan konstitusi. Oleh karena itu, ia meminta MK untuk menegaskan makna frasa “Dewan Perwakilan Rakyat”, “Presiden”, dan “Pemerintah” dalam Pasal 30 ayat (1) dan (2) UU KPK agar selaras dengan Putusan MK 112/PUU-XX/2022.

Majelis Hakim Beri Waktu Perbaikan

Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menyarankan pemohon untuk memperkuat kedudukan hukumnya agar lebih meyakinkan MK bahwa ia memiliki legal standing dalam perkara ini.

Sementara itu, Ketua MK Suhartoyo meminta pemohon untuk memperjelas alasan permohonan atau posita dalam gugatan yang diajukan.

“Berkaitan dengan posita, memang perlu dielaborasi lebih lanjut,” ujar Suhartoyo.

Majelis Hakim memberikan waktu 14 hari kepada pemohon untuk melakukan perbaikan permohonan, dengan batas waktu paling lambat Selasa, 18 Maret 2025. (Amelia)