TarunaKota.com, Jakarta – Komisi IX DPR resmi membentuk Panitia Kerja (Panja) untuk merevisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Revisi ini merupakan tindak lanjut dari amanat Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan pembentukan undang-undang baru dan pemisahan klaster ketenagakerjaan dari UU Cipta Kerja.

Meski Panja baru menyusun jadwal dan membandingkan substansi UU No. 13/2003 dengan UU No. 6/2023 tentang Cipta Kerja, kelompok pengusaha dan serikat pekerja telah lebih dulu menyiapkan draf masukan sesuai dengan aspirasi masing-masing.

Pembentukan Panja dan Tahapan Awal

Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) Partai NasDem, Irma Suryani, mengonfirmasi bahwa Panja dibentuk pada Selasa (22/4/2025). Keesokan harinya, Rabu (23/4/2025), langsung digelar rapat internal pertama.

“Saya ikut menjadi anggota Panja. Rapat pertama kami baru memeriksa substansi UU Nomor 13 Tahun 2003 untuk disandingkan dengan UU Cipta Kerja,” kata Irma, Jumat (25/4/2025).

Senada dengan Irma, Kapoksi Fraksi PDI-P, Edy Wuryanto, juga menyatakan bahwa Panja masih dalam tahap awal.

“Baru dibentuk dan baru menyusun jadwal pembahasan,” ujarnya singkat.

Amanat MK: Pisahkan Klaster Ketenagakerjaan

MK sebelumnya, pada 31 Oktober 2024, menyatakan bahwa klaster ketenagakerjaan harus dikeluarkan dari UU Cipta Kerja. MK memberikan waktu dua tahun kepada DPR dan Presiden untuk menyusun UU baru yang memuat substansi dari UU No. 13/2003, UU No. 6/2023, serta berbagai putusan MK sebelumnya.

Dalam putusannya, MK telah mengabulkan 12 dari 36 perkara terkait ketenagakerjaan. Sebanyak 21 norma dinyatakan inkonstitusional bersyarat, termasuk isu-isu penting seperti:

  • Tenaga kerja asing
  • Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT)
  • Outsourcing
  • Upah dan minimum upah
  • Cuti
  • PHK
  • Pesangon dan uang penghargaan masa kerja

Respons Cepat dari Serikat Buruh dan Pengusaha

Setelah Panja terbentuk, berbagai pihak langsung menyusun draf usulan masing-masing.

Ketua Umum Konfederasi KASBI, Sunarno, menyatakan bahwa KASBI dan sejumlah federasi buruh telah membentuk tim perumus draf revisi pro pekerja. Beberapa poin utama yang mereka usulkan meliputi:

  • Perlindungan bagi pekerja rentan
  • Penghapusan sistem kerja fleksibel
  • Pengembalian norma dari UU No. 13/2003
  • Perlindungan untuk buruh perempuan, anak, dan berkebutuhan khusus
  • Penguatan serikat pekerja
  • Sistem pengupahan yang lebih adil

“Kami ingin UU ini menjamin dan melindungi hak-hak buruh, tidak seperti pengalaman pahit saat pembahasan UU Cipta Kerja,” kata Sunarno.

Presiden KSBSI, Elly Rosita Silaban, juga menyampaikan bahwa mereka telah bertemu dengan beberapa konfederasi buruh untuk menyusun draf. Fokus KSBSI ada pada durasi kontrak kerja, pesangon, dan alih daya.

“Kami harap panja bisa berpikir logis demi keadilan sosial. Jangan sampai revisi UU ini justru menimbulkan masalah baru,” ujarnya.

Masukan dari Kalangan Pengusaha

Sementara itu, Ketua Umum Apindo, Shinta W. Kamdani, mengungkapkan bahwa kalangan pengusaha juga tengah menyusun masukan untuk draf revisi versi mereka.

“Banyak masukan. Nanti pada waktunya akan kami sampaikan,” ujarnya singkat.

Harapan Akademisi dan Lembaga Independen

Analis dari Indonesia Labor Institute, Rekson Silaban, menekankan pentingnya agar draf revisi tidak bertentangan dengan konvensi ILO dan memperkuat peran Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit.

Menurutnya, dua isu mendesak adalah pengaturan kerja kontrak dan sistem pengupahan. Ia menyarankan agar kerja kontrak hanya berlaku untuk pekerja non-core business dan sistem upah kembali pada rekomendasi LKS Tripartit. (Amelia)