TarunaKota.com, Jakarta — Pemerintah berkomitmen memperluas cakupan kepesertaan program jaminan sosial ketenagakerjaan bagi pekerja miskin dan miskin ekstrem. Namun, tantangan utama yang dihadapi adalah mekanisme pembiayaan bantuan iuran untuk kelompok rentan ini.

Langkah ini tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2025 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Pengentasan Kemiskinan dan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem, yang berlaku hingga tahun 2029.

Jaminan Sosial, Bukan Sekadar Bantuan

Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany, menilai kebijakan Presiden Prabowo Subianto ini lebih strategis dibanding pemberian bantuan sosial biasa. Menurutnya, program jaminan sosial memiliki aspek pendidikan kepada masyarakat tentang pentingnya perlindungan sosial.

“Negara mengembangkan jaminan sosial untuk seluruh rakyat. Prosedurnya formal sesuai UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Jaminan sosial bersifat kontribusional dan memenuhi kebutuhan rakyat,” ujarnya, Selasa (22/4/2025), di Jakarta.

Hasbullah menyarankan pembiayaan tidak sepenuhnya dari APBN. Ia mendorong skema co-funding atau kontribusi iuran. Misalnya, pekerja miskin tetap membayar iuran meski hanya 10 persen dari total biaya.

Menurutnya, bantuan tidak bisa diberikan selamanya. Harus ada mekanisme bertahap. Misalnya, 100 persen bantuan pada tiga tahun pertama, lalu menurun menjadi 90 persen di tahun keempat dan kelima.

“Yang penting, pemerintah harus mendata pendapatan para pekerja yang masuk kategori miskin dan miskin ekstrem dengan akurat,” tegas Hasbullah.

Data Akurat adalah Kunci

Ippei Tsuruga, Social Protection Programme Manager ILO Indonesia, menekankan pentingnya data akurat untuk efektivitas kebijakan. Ia mencatat bahwa dalam beberapa kasus, program bantuan sosial salah sasaran karena tidak mampu mengidentifikasi kelompok yang benar-benar miskin.

“Kemiskinan dan kerentanan sering kali tidak terlihat secara kasat mata,” ujarnya.

Ippei menyebut bahwa pendekatan subsidi yang akan diterapkan lewat Inpres ini melanjutkan arah kebijakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045. Target utama RPJPN adalah peningkatan cakupan program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK).

Perluasan peserta JKK cukup signifikan—dari 2,5 juta wiraswasta pada 2020 menjadi 9,2 juta pada 2023. Namun, pelaksanaan masih bergantung pada subsidi pemerintah daerah dan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).

Dukungan DPR dan Tantangan Anggaran

Edy Wuryanto, anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, menyarankan pemerintah menghitung ulang kemampuan APBN dan APBD. Ia mencontohkan bahwa jika ada 20 juta pekerja miskin yang diikutsertakan, cukup hanya JKK dan Jaminan Kematian (JKM) dengan total iuran Rp 16.800 per bulan.

“Pemerintah perlu hitung anggaran tahunan yang dibutuhkan, apalagi dengan adanya kebijakan efisiensi anggaran yang diketok pada Januari 2025,” katanya.

30 Juta Pekerja Rentan Jadi Target

Direktur Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan, Pramudya Iriawan Bintaro, menyampaikan bahwa Inpres No. 8/2025 tidak menciptakan program baru, tetapi memperluas cakupan peserta program yang sudah ada, yaitu JKK, JKM, Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

“Inpres ini mempertegas bahwa pekerja miskin dan miskin ekstrem adalah penerima bantuan iuran (PBI). Diperkirakan, ada sekitar 30 juta pekerja rentan yang akan disasar menggunakan data tunggal sosial ekonomi nasional,” ujarnya saat penandatanganan MoU dengan Badan Gizi Nasional, Senin (21/4/2025).

Beberapa pemerintah daerah sebenarnya sudah lebih dulu membiayai iuran bagi kelompok ini. Kini, kebijakan serupa akan dilaksanakan secara nasional dengan koordinasi lintas kementerian dan peta jalan untuk mencapai target Inpres.

Berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan hingga akhir 2024, jumlah peserta mencapai 45,2 juta orang, terdiri dari 9,9 juta pekerja informal dan 35,3 juta pekerja formal. (Amelia)