TarunaKota.com, BandungPenolakan masyarakat sipil terhadap revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) semakin menguat. Hal ini terjadi setelah pemerintah dan Komisi I DPR membahas revisi tersebut secara tertutup di salah satu hotel di Jakarta Pusat pada hari libur. Tertutupnya pembahasan di luar ruang parlemen ini seolah menormalisasi kebiasaan yang kerap terjadi dalam pembentukan undang-undang.

Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (HTN FH Unpad), Prof. Susi Dwi Harijanti, menilai bahwa pembahasan revisi UU TNI ini merupakan bentuk abusive law making atau praktik autocratic legalism. Menurutnya, praktik penyusunan undang-undang seperti ini harus dilawan, karena konstitusi menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, bukan politisi.

Pelanggaran Prinsip Demokrasi dalam Revisi UU TNI

Dalam diskusi bertajuk Menolak Kejahatan Legislasi dalam Pembahasan RUU TNI: Inkonstitusional, Melanggar HAM, dan Kebebasan Akademik pada Minggu (16/03/2025), Prof. Susi mengemukakan beberapa alasan utama mengapa revisi UU TNI harus ditolak:

  1. Prosedur Penyusunan yang Tidak Demokratis
    Penyusunan dan pembahasan RUU TNI tidak mencerminkan prinsip democratic law making, melainkan justru sebaliknya, abusive law making. Revisi ini tidak didasarkan pada asas keperluan atau kebutuhan yang jelas, melainkan hanya mengakomodasi kepentingan kelompok tertentu.
  2. Ketidaksesuaian Konsideran dengan Isi RUU
    Dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang diajukan pemerintah, disebutkan bahwa TNI dibangun secara profesional berdasarkan demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia (HAM), serta hukum nasional dan internasional. Namun, dalam batang tubuh RUU, prinsip-prinsip tersebut justru tidak tercermin.
  3. Potensi Penyalahgunaan Kewenangan dalam Tugas Perbantuan
    Pasal 7 RUU TNI mengatur tugas perbantuan yang memungkinkan TNI melakukan operasi militer selain perang (OMSP) atas dasar kebijakan dan keputusan politik negara, yang diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres). Ini menimbulkan pertanyaan hukum: apakah tepat PP dijadikan dasar untuk mengatur kebijakan politik negara? Bagaimana memastikan bahwa tugas perbantuan ini tidak mengganggu fungsi lembaga lain dan tetap berada dalam koridor demokrasi?

“Apa yang terjadi di Aceh dan Papua? Semua dibungkus dalam tugas perbantuan. Ini berpotensi merusak sendi-sendi pemerintahan dan kehidupan bernegara,” tegas Prof. Susi.

  1. Diskresi Berlebihan kepada Presiden
    Dari perspektif hukum tata negara, pengaturan OMSP melalui PP dan Perpres menciptakan ketidakpastian hukum. RUU TNI memberikan diskresi yang luar biasa besar kepada pemerintah atau presiden dalam menetapkan dasar hukum, tetapi tidak berbasis pada kepentingan rakyat.
  2. Tidak Mencerminkan Supremasi Sipil
    Pasal 47 RUU TNI yang mengatur jabatan sipil bagi militer tidak mencerminkan prinsip supremasi sipil yang seharusnya menjadi pijakan utama. Selain itu, Pasal 53 yang menaikkan batas usia pensiun perwira bintang empat berdasarkan kebijakan presiden, tanpa alasan yang jelas, menimbulkan pertanyaan serius tentang kepastian hukum.

“Mengapa perwira bintang empat pensiun berdasarkan kebijakan presiden? Di mana prinsip persamaan dan kepastian hukumnya?” tanya Prof. Susi.

Menghidupkan Kembali Dwi Fungsi TNI?

Secara tegas, Prof. Susi menolak segala bentuk upaya untuk menghidupkan kembali dwi fungsi TNI. Ia menegaskan bahwa masyarakat harus memperkuat pemerintahan sipil yang demokratis dan menjauhkan TNI dari ranah politik serta jabatan sipil.

Dalam diskusi yang sama, pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menambahkan bahwa Pasal 30 UUD 1945 secara eksplisit menempatkan TNI sebagai alat negara yang bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan serta kedaulatan negara. Posisi TNI sebagai alat negara sejajar dengan Polri dan Badan Intelijen Negara (BIN).

“Sebagai alat negara, TNI diberikan akses khusus terhadap senjata dan kekerasan. Ia memiliki legitimasi penggunaan kekerasan, sehingga tidak boleh digunakan untuk kepentingan di luar mandat konstitusionalnya,” ujar Bivitri.

Lebih lanjut, ia menyoroti urgensi pembahasan RUU TNI yang dilakukan secara tertutup dan tergesa-gesa. Ia mempertanyakan alasan mendesak yang mendorong pemerintah dan DPR untuk segera merampungkan revisi UU ini sebelum masa sidang berakhir, padahal Indonesia saat ini tidak dalam keadaan perang.

Sebaliknya, yang lebih mendesak adalah revisi UU Peradilan Militer seperti yang dimandatkan oleh UU TNI. Revisi ini penting untuk meningkatkan profesionalisme TNI dan mengakhiri impunitas di dalam tubuh militer.

“Proses legislasi ini harus dihentikan. Jika memang ada urgensi, analisis lebih mendalam harus dilakukan terlebih dahulu, misalnya terkait penumpukan perwira TNI non-job yang perlu diselesaikan secara komprehensif dan partisipatif,” pungkasnya. (Amelia)