TarunaKota.com, Jakarta – Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi membentuk Panitia Kerja (Panja) untuk merevisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pembentukan panja ini dilakukan pada Rabu, 22 April 2025.

Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai NasDem, Irma Suryani Chaniago, menyampaikan bahwa langkah awal yang diambil panja adalah membandingkan isi UU Ketenagakerjaan yang lama dengan UU Cipta Kerja.

“Tim ahli sedang kami minta untuk menyiapkan naskah perbandingan antara UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan Undang-Undang Cipta Kerja,” ujar Irma saat dihubungi pada Sabtu, 26 April 2025.

Sementara itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, mengungkapkan bahwa pihaknya telah menyiapkan draft masukan untuk revisi RUU Ketenagakerjaan.

“Isu utama yang kami soroti antara lain soal upah, jaminan sosial, outsourcing, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), jam kerja, tenaga kerja asing, pemutusan hubungan kerja (PHK), pesangon, dan lainnya,” jelas Said melalui pesan singkat.

Said menegaskan bahwa revisi UU Ketenagakerjaan penting untuk memperkuat perlindungan terhadap buruh. Ia berharap UU yang baru nantinya tidak menghidupkan kembali pasal-pasal bermasalah dalam UU Cipta Kerja yang dianggap merugikan pekerja.

Menurutnya, ada tiga sumber utama yang bisa dijadikan acuan oleh DPR dan pemerintah dalam merumuskan RUU Ketenagakerjaan:

  1. UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sebagai regulasi awal yang menjadi landasan hukum perlindungan pekerja.
  2. Materi UU Cipta Kerja, yang meskipun menuai pro dan kontra, masih mengandung beberapa pasal yang layak dipertahankan, seperti ketentuan tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan.
  3. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023, yang mengabulkan sebagian gugatan uji materi terhadap UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.

Gugatan tersebut diajukan oleh berbagai elemen buruh seperti Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), dan KSPI sendiri.

“Setelah tiga sumber utama itu, barulah ditambahkan masukan dari berbagai pihak, baik dari serikat buruh, pengusaha, kalangan akademisi, maupun masyarakat luas,” tutup Said. (Amelia)